Surat Buat Mia


Untuk Sahabatku : Mia

Membaca tulisanmu sungguh aku terharu. Aku kagum atas keteguhan tekadmu. Mia adalah manusia langka di abad ini.

Kerja-kerja pendampingan atau pengorganisasian masyarakat memang bukan pekerjaan yang mudah. Kita tidak saja membutuhkan pengetahuan teknik fasilitasi yang baik, tapi juga memahami latar sosiologis, komunikasi, empati, dan perbedaan kharakter tiap warga. Permasalahan yang Mia hadapi tentu tidak apat dijelaskan dalam satu perspektif, karena kondisi yang Mia ceritakan biasanya sangat kompleks dan rumit.

Mia, upaya mengentaskan rakyat dari kemiskinan itu merupakan perjuangan hidup yang usianya seumur dengan peradaban manusia. Karena itu, Mia sebagai fasilitator harus memahami bagaimana pandangan warga tentang kemiskinan. Dari berbagai pengalaman yang kulakukan minimal ada tiga jenis pandangan warga tentang kemiskinan.

Pertama, ada yang mengatakan miskin itu sebagai takdir Tuhan, dengan pemeo hidup itu seperti roda yang berputar–kadang di atas kadang di bawah. Saat posisi kita di bawah maka kemiskinan melekat pada kita, sebaliknya saat kita di atas maka kemakmuran tengah berpihak pada kita. Orang Jawa menyebutnya sebagai cakra manggilingan. Karena miskin itu adalah hukum alam atau takdir tuhan maka upaya kita hanya berdoa agar roda cepat berputar kembali sehingga posisi kita bergeser. Maka, membikin kelompok usaha bersama dan pertemuan rutin seperti yang dilakukan Mia tidak akan mengubah hidup mereka.

Kedua, ada yang mengatakan miskin itu tercipta sebab orang itu kalah bersaing dengan yang lain. Robert yang bermodal seratus ribu kalah bersaing dengan Paimin yang bermodal 10 juta. Enjelin yang lulusan Sekolah Dasar (SD) kalah bersaing dengan Minem yang lulusan perguruan tinggi, demikian seterusnya. Agar Robert dan Enjelin bisa lepas dari kemiskinan maka mereka harus memiliki kemampuan, modal, dan fasilitas yang lebih atau minimal sama dengan Paimin dan Minem. Oleh karena itu, kegiatan Mia telah menempatkan orang-orang miskin dapat daya saing yang kuat. Jika tidak, pekerjaan Mia hanyalah sia-sia belaka.

Ketiga, ada yang mengatakan tidak ada kemiskinan, yang ada adalah pemiskinan. Orang yang sekarang miskin merupakan korban dari proyek pemiskinan yang tersusun secara rapi dan sistematis. Maka usaha untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan hanyalah dengan menghentikan atau memutus rantai pemiskinan itu. Pemiskinan itu biasanya terjadi karena ada kelompok yang mengeksploitasi dan ada kelompok yang dieksploitasi.

Misalnya, di Cilacap 34 prosen Pendapatan Asli Daerah (PAD) diambil dari sektor kesehatan, 7 prosen dari sektor industri, dan 5 prosen dari sektor pajak perdagangan. Apabila 34% PAD dari sektor kesehatan maka artinya sebagian besar PAD didapatkan dari orang-orang yang berobat. Di daerah sektor kesehatan didapatkan dari Puskesmas dan Puskesmas Pembantu. Siapa yang menggunakan fasilitas itu? Pasti bukan orang kaya tetapi orang miskin. Orang kaya akan memilih rumah sakit atau dokter spesialis. Jadi, 34% pembangunan di Cilacap dibiayai oleh orang miskin yang sedang sakit.

Sumbangan PAD dari orang kaya mungkin tercipta dari sektor industri dan perdagangan. Dari data di atas jumlahnya sangat sedikit.Ironisnya, dana alokasi belanja sektor kesehatan jauh lebih kecil dari sektor industri dan perdagangan.Jadi, orang miskin yang biasanya mudah sakit-sakitan dieksploitasi untuk menyumbang sektor orang kaya. Apakah ini adil?

Dari tiga pendapat di atas, apakah program yang difasilitasi oleh Mia dapat menjawab pertanyaan yang mana? Bukan bermaksud mengecilkan jerih payah Mia, tapi ada hal yang sungguh penting untuk dipahami, yaitu kadang hidup kita tidak cukup hanya berbekal niat baik. Niat baik jelas penting tapi harus disertai dengan pemahaman dan cara pandang atas masalah yang baik. Ada cerita yang populer untuk melukiskan hal ini, yaitu cerita tentang persahabatan pak monyet dan pak ikan. Demikian ceritanya:

Pak Monyet dan pak ikan bersahabat baik. Pak monyet hidup di dahan pohon, sementara pak ikan hidup di sungai yang tepat berada di bawah dahan pohon tempat pak monyet berada. Pada saat yang senggang mereka sering bercengkrama. Pak monyet yang baik kadang melempar buah di pohon untuk dibagi dengan pak ikan. Suatu saat hujan turun dengan lebat, angin bertiup dengan kencang, dan kilat menyambar-nyambar. Pak monyet bersembunyi dibalik dahan yang kuat untuk menghindari rasa ngeri akibat peristiwa alam ini. Di saat pak monyet nyaman di persembunyiannya ia teringat dengan sahabatnya, pak ikan.

Akhirnya, demi solidaritas antar hewan pak monyet menerobos hujan mencari pak ikan. Alangkah terkejutnya pak monyet ketika melihat sungai tempat pak ikan meluap dan banjir. Ia melihat pak ikan tengah melompat-lompat di atas air yang mengalir kencang. Akhirnya, tanpa berpikir panjang lagi pak monyet menangkap pak ikan dan ditempatkannya di dahan yang aman dari amukan banjir. Satu jam setelahnya pak monyet menangis meraung-raung. Sahabat baiknya, pak ikan menghembuskan nafas terakhirnya, MATI. Niat baik pak monyet justru membunuh pak ikan. Banjir yang menurut pak monyet sebagai peristiwa mengerikan sebenarnya adalah surga bagi pak ikan. Pak ikan melompat-lompat bukan karena takut tapi karena kegirangan. Sayang, peristiwa ini dipandang sebaliknya oleh pak monyet. Akhirnya, pak monyet menyesali perbuatannya yang konyol.

Saya sisipkan kan tulisanku, Kisah Kaum Bersarung di Lahan Karet, bisa memberikan pemahaman baru buat Mia

Demikian Mia, semoga tukar pendapat ini memberikan manfaat bagi kita.

Sahabatmu

Yossy Suparyo, jurnaliswarga

Satu tanggapan untuk “Surat Buat Mia

Tinggalkan Balasan ke munawar am Batalkan balasan